Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan memiliki keturunan yang berasal dari pernikahannya. Karena kehadiran seorang buah hati kecil merupakan sebuah kebahagian tersendiri bagi setiap pasangan suami istri. Akan tetapi tidak semua pasangan dapat memiliki buah hati secara alamiah. Tidak sedikit pasangan suami istri yang harus menempuh cara-cara yang tergolong ekstrem. Contohnya dengan cara membeli sperma atau sel telur dari bank sperma. Walau cara ini tergolong efektif dan banyak di minati oleh kebudayaan barat. Akan tetapi cara ini memiliki resiko yang sangat besar terhadap keturunan berikutnya.
Berikut ini adalah berbagai resiko dari penggunan donor sperma atau sel telur:
1. Ketidakjelasan Genetik
Menurut ahli spesialis obstetri dan ginekologi sekaligus pakar bayi tabung, donor sperma ke depannya bisa meyebabkan berbagai resiko yang tak diinginkan. Menurut ilmu pengetahuan donor sperma menyebabkan riwayat genetik yang tidak jelas. Hal ini dapat menyebabkan masalah sosial dalam kehidupan termasuk medikolegal.
Contohnya, kasus seorang wanita di Amerika Serikat yang pernah menggugat bank sperma. Wanita ini awalnya menginginkan sperma dari pria pendonor berkulit putih. Namun, wanita tersebut malah melahirkan anak berkulit hitam setelah hamil dari sperma pendonor yang salah.
2. Keturunan yang Cacat
Kata ahli, donor sperma biasanya enggak hanya diberikan ke satu wanita. Dengan kata lain, bila empat wanita mendapatkan sperma dari donor yang sama, maka anak-anak mereka akan memiliki kesamaan genetik. Alasannya jelas, karena mereka berasal dari satu ayah.
Coba bayangkan, bagaimana bila anak tumbuh dewasa dan menikah dengan seseorang yang ternyata berasal dari satu sperma yang sama? Peluangnya memang kecil, tapi kemungkinan untuk terjadi tetap ada. Inilah bahayanya, sebab hal ini bisa meningkatkan risiko untuk memiliki keturunan yang cacat.
Nah, risiko-risiko di ataslah yang membuat negara kita tidak memperbolehkan donor sperma.
Indonesia melarang kegiatan donor sperma maupun sel telur seperti diatur dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Nomor 41 tahun 2014. Namun, inseminasi buatan maupun bayi tabung tetap boleh dilakukan, asalkan sel telur dan sperma berasal dari pasangan suami dan istri itu sendiri.
0 Komentar